Rabu, 29 Agustus 2012

Rumah Tradisional Flores Mendapatkan Penghargaan UNESCO

Foto: Robin Hartanto

Mbaru Niang, rumah kerucut suku Manggarai yang berada di desa Wae Rebo, Flores, berhasil mendapatkan penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 yang diumumkan di Bangkok, 27 Agustus 2012.

Mbaru Niang mendapatkan Award of Excellence, yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang pelestarian warisan budaya.  Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun.

Rumah tradisional ini berhasil mengalahkan 42 kandidat lainnya dari 11 negara di Asia Pasifik, antara lain sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina, dan Masjid Khilingrong di Pakistan.
Keberhasilan ini adalah lompatan yang mengejutkan, mengingat Wae Rebo belum banyak dibicarakan hingga empat tahun yang lalu. Wae Rebo bisa dibilang sebagai spesies langka. Tidak banyak tersisa rumah kerucut di Flores, yang adalah rumah adat suku Manggarai. Tetapi ia juga bukan sekedar bentuk. Penduduk setempat masih mempertahankan keutuhan tradisi setempat, yang kemudian membuat bentuk menjadi berarti.

Desa ini juga terpencil — orang harus menempuh perjalanan darat 5 jam dari Labuan Bajo ke Desa Denge (tempat terakhir yang bisa diakses kendaraan) kemudian menempuh 5 jam lagi berjalan kaki.
Adalah Yori Antar, arsitek dari Jakarta, dan kawan-kawan pertama kali mengunjungi desa ini di tahun 2008, tanpa tahu persis di mana desa ini berada. Bermodalkan gambar di kartu pos, mereka menanyakan penduduk sekitar untuk mengantarkan mereka ke desa ini. Tidak banyak yang mengetahui desa ini sebelumnya, kecuali para wisatawan asing.
Ketika mereka sampai di sana, penduduk setempat kaget. Alexander Ngandus, warga lokal desa ini berkata, “Bagi masyarakat Wae Rebo, kehadiran mereka seperti bagian dari kunjungan Presiden Republik Indonesia, karena baru sekali ini wisatawan Indonesia masuk ke desa ini,” kata Alex saat saya temui di Wae Rebo tahun 2010. Yori Antar dkk ternyata wisatawan pertama asal Indonesia.

Di Wae Rebo terdapat empat Mbaru Niang dengan ukuran serupa, kecuali satu rumah yang berperan sebagai rumah utama tempat segala pertemuan adat dilakukan dengan ukuran lebih besar. Setiap rumahnya dihuni enam sampai delapan keluarga. Dua rumah berada dalam kondisi yang rentan karena telah berumur puluhan tahun. Sementara dalam sejarah mereka yang dituturkan mulut ke mulut, pernah terdapat tujuh rumah kerucut yang posisinya tersusun membentuk setengah lingkaran.

Melihat orisinalitas dan kekayaan budaya dari Wae Rebo, Yori Antar lalu menginisiasi konservasi kawasan ini lewat Rumah Asuh, gerakan yang ia gagas untuk melindungi kekayaan warisan budaya Indonesia, terutama dalam bidang arsitektur. Ia menyebutkan, “Kebudayaan yang hidup lebih penting ketimbang monumen yang mati.”

Gagasan tersebut disambut baik oleh penduduk lokal. Mereka lalu membuat tim yang melibatkan masyarakat setempat tanpa campur tangan pihak luar. Rumah Asuh sebagai pelopor proyek, mengawasi jalannya proses konservasi dan membantu pendanaan. Tahun 2010, dua rumah kerucut yang sudah berumur tadi dibongkar dan dibangun kembali. Tahun 2011, tiga rumah kerucut dibangun, sehingga desa tersebut kembali punya tujuh rumah kerucut. Semua itu dikerjakan dengan tenaga masyarakat setempat.

Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.”

Proyek ini, lanjutnya, menghadirkan penyaluran pengetahuan atas bentuk arsitektur dan teknik membangun dari generasi tua ke generasi yang lebih muda, serta membangun lingkungan terbangun yang berkelanjutan, dengan mengedepankan semangat dan kebanggaan komunitas.

Mohe
Wae Rebo. Selamat atas keberhasilannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar